Detail Berita

Advertorial

Perempuan dan Stereotip Melampaui Batasan Lama

Pewarta : Eko

14 Desember 2025

22:31

Penulis Opini pada 14 Desember 2025 (foto: Penulis)

Penulis  : Ayunda Citra Insani 

KANGEAN, enesindo.co.id - Selama bertahun-tahun, perempuan hidup di bawah bayang-bayang stereotip yang membatasi peran dan pilihan hidup mereka. Label “lemah”, “emosional”, dan “hanya cocok di ranah domestik” masih kerap dilekatkan, seolah menjadi kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan. Ungkapan kasur, sumur, dan dapur bukan sekadar frasa, melainkan simbol kuat dari konstruksi sosial yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat.

Stereotip tersebut telah lama tertanam dalam memori kolektif masyarakat dan berdampak nyata pada kehidupan perempuan. Tidak sedikit perempuan yang akhirnya ragu terhadap kemampuannya sendiri karena tekanan sosial yang mengharuskan mereka tunduk pada peran tradisional. Padahal, pembatasan itu bukan bersumber dari kodrat biologis, melainkan dari norma sosial yang diwariskan lintas generasi.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa perempuan memiliki kapasitas yang setara dengan laki-laki dalam berbagai sektor. Di bidang pendidikan, perempuan bahkan menunjukkan capaian yang signifikan. Di dunia profesional dan kepemimpinan, semakin banyak perempuan yang membuktikan kemampuannya.

Data Badan Pusat Statistik melalui Indeks Pemberdayaan Gender mencatat keterlibatan perempuan di panggung politik mencapai 22,46 persen hingga akhir 2024. Meski angka ini belum ideal, ia menjadi sinyal bahwa tembok pembatas itu mulai retak.

Perubahan ini menandai pergeseran penting dalam struktur sosial. Perempuan tidak lagi hanya menjadi objek pembangunan, melainkan subjek yang aktif berkontribusi. Kehadiran perempuan di ruang publik baik sebagai pemimpin politik, pengusaha, akademisi, maupun aktivis sosial menunjukkan bahwa stereotip lama semakin kehilangan relevansinya.

Namun, perubahan struktural tidak akan berarti tanpa perubahan cara pandang. Kesetaraan gender bukan semata soal membuka akses, tetapi juga membongkar cara berpikir yang menormalisasi ketimpangan, di titik inilah pemikiran Simone de Beauvoir menjadi relevan. 

Dalam The Second Sex (1949), ia menegaskan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai “perempuan” dalam makna sosial, melainkan “dibentuk” oleh masyarakat. Feminitas, menurut Beauvoir, adalah hasil konstruksi sosial, bukan takdir biologis.

Pemahaman ini seharusnya mendorong masyarakat untuk lebih kritis terhadap norma-norma yang selama ini dianggap wajar. Jika peran perempuan adalah hasil konstruksi sosial, maka ia dapat diubah dan memang harus diubah demi keadilan yang lebih setara.

Perjuangan melampaui batasan lama tidak bisa dibebankan kepada perempuan semata. Dukungan keluarga, keberpihakan kebijakan negara, serta kesadaran kolektif masyarakat menjadi kunci utama. Tanpa itu, kesetaraan hanya akan berhenti sebagai jargon.

Masa depan bangsa tidak mungkin dibangun dengan setengah potensi yang dibelenggu. Memberi ruang bagi perempuan untuk tumbuh dan berkarya tanpa stereotip bukan sekadar tuntutan keadilan, melainkan kebutuhan sejarah. Sebab, masyarakat yang adil adalah masyarakat yang memberi kesempatan setara bagi semua warganya, tanpa kecuali. (Opini ini di luar tanggung jawab Redaksi Enesindo.co.id )

Tags : #Ayunda Citra Insani #Kangean

Ikuti Kami :

Komentar