Agus Sudirman, 79 tahun, yang tercatat sebagai seorang Komisaris sebuah BPR di Banyuwangi, adalah contoh nyata dari wajah rapuh penegakan moral di negeri ini. Alih-alih bersikap ksatria menghadapi putusan hukum, ia memilih jalan memalukan: kabur, menghilang, dan bersembunyi di balik status “Orang Tua Renta.”

Namun sejarah selalu punya ironi. Tim Intelijen Kejaksaan Agung berhasil membongkar persembunyiannya di Jakarta Utara. Sang buronan yang konon masih kuat melawan hukum, akhirnya menyerah tanpa perlawanan. Sejak 17 Juli 2025, ia resmi mendekam di Lapas Kelas IIA Banyuwangi, menanggung vonis satu tahun penjara akibat perkara pemalsuan surat yang merugikan Rp15 miliar.

Lebih ironis lagi, upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan, ditolak mentah-mentah oleh Mahkamah Agung. Tidak ada celah hukum untuk meloloskan diri. Kini, sisa 10 bulan hukumannya harus ditelan bulat-bulat.

Pertanyaannya sederhana: mengapa memilih jadi buron? Bukankah hukuman satu tahun penjara jauh lebih ringan dibanding menanggung malu sebagai DPO yang dikejar-kejar aparat? Jawabannya jelas: karena mental seorang koruptor, penipu, atau pemalsu surat bukanlah mental ksatria. Mereka lebih suka kabur, sembunyi, dan menunda, seolah hukum bisa dilipat.

Sayangnya, hukum tidak bisa dikibuli atau bahkan dibeli. Agus Sudirman adalah bukti telanjang bahwa cepat atau lambat, setiap pelarian akan menemui ujungnya. Bukan karena ia tua, bukan karena ia lemah, tetapi karena hukum tidak pernah mengenal usia, ia hanya mengenal keadilan.

Buron boleh berlari, tapi hukum selalu lebih sabar. Dan Agus Sudirman adalah contoh telanjang dari seorang lelaki tua yang akhirnya lelah sendiri berlari dari bayang-bayang kejahatannya.