Detail Opini

Hukum & Politik

Penguatan Kurikulum Anti Korupsi

Pewarta : Eko

12 November 2025

16:56

Agus Darman Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjana Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi ( Foto : Istimewa)

Oleh : Agus Darman

Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam Pascasarjana Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Mungkin hampir setiap hari kita mendengar kabar atau membaca berita tentang korupsi di negara kita Indonesia ini, terutama korupsi yang dilakukan oleh orang-orang di dalam pemerintahan seperti pejabat negara dan orang-orang yang berada di sekitar pemerintahan tersebut seperti politisi, pengusaha, dan kelompok masyarakat lainnya. 

Praktik korupsi dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dari kalangan terbawah di masyarakat sampai elit politik. Tak dapat dipungkiri saat ini Indonesia masih menempati klasemen papan atas dalam praktik korupsi.

Secara maknawi korupsi dalam bahasa Latin “corrptus” atau “corruptio”, dalam bahasa Belanda “corruptie” adalah sesuatu yang berarti buruk, busuk, menyimpang, salah guna dan sederet kata yang dimaknai secara negatif. 

Dalam dunia politik, korupsi sering diartikan sebagai “abuse of public power” untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dari sisi moralitas atau humanitas, korupsi dikonotasikan sebagai mode of conduct yang menyimpang dari standar nilai-nilai kemanusiaan dan norma-norma kemasyarakatan. Dalam arti yang lebih luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi atau golongan.

Walaupun korupsi dinilai sebagai suatu hal yang buruk namun hari ini kita masih saja mendapati praktiknya yang bahkan dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi pilar penegakan anti korupsi di negara ini. 

Seperti praktik korupsi yang terjadi institusi yang mengatur masalah agama di negara ini bahkan juga oleh institusi yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai antikorupsi. Motifnya tentu sama yaitu mencari keuntungan pribadi atau golongan yang dibungkus atas nama kebijakan, inovasi, terobosan dan lain sebagainya. 

Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita akan membiarkan praktik korupsi terus berkembang dan pelakunya merajalela di negeri ini? Apakah kita akan diam ketika bumi nusantara yang potensial ini dieksploitasi oleh segelintir orang yang memegang kekuasaan? Tentu jawabannya adalah tidak, namun bagaimana caranya? Praktik korupsi sudah seperti mendarah daging, dilaksanakan secara sistematis dan tanpa disadari dilaksanakan dari skala kecil sampai besar. 

Seyogyanya sebagai negara yang berpancasila, seluruh warga negara memahami bahwa praktik korupsi bertentangan dengan nilai-nilai yang dikandung oleh semua sila yang lima itu. Pada sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa yang mengandung nilai-nilai agama, sangat jelas korupsi bertentangan dengan nilai ketuhanan. 

Pada sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab yang mengandung ajaran keadilan dan keberadaban jelas pula korupsi tidak dapat dibenarkan. Pada sila ketiga, Persatuan Indonesia yang mengandung keutuhan dan kebersamaan dapat pula dipandang korupsi justru dapat menghancurkannya. 

Selanjutnya pada sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan yang mengandung nilai amanah dan kepemimpinan ideal tentu korupsi tidak sejalan dengan hal itu. Terakhir sila kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang mengimpikan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh warga negara, tentu tidak dapat terwujud jika praktik korupsi merajalela. 

Salah satu cara untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah melalui pendidikan baik formal maupun non formal. Pendidikan diyakini dapat memberikan kondisi yang lebih baik karena mempunyai perangkat atau alat yang dapat merubah mindset warga negara, seperti kurikulum. Namun kurikulum yang baik tidak dapat berjalan sendiri akan tetapi harus didukung oleh sarana dan prasarana yang baik pula. 

Insersi nilai-nilai anti korupsi telah sejak lama diupayakan oleh pemerintah pada pendidikan formal dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama melalui lembaga pendidikan yang dinaunginya, salah satunya dengan melaksanakan Penguatan Pendidikan Karakter yang diimplementasikan dalam pembelajaran. 

Pada sektor non formal dan informal, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga gencar melaksanakan sosialisasi di tengah masyarakat melalui pelatihan, seminar dan penyebaran modul anti korupsi. 

Upaya-upaya pemerintah tersebut terus dilaksanakan sampai saat ini namun belum memberikan dampak yang signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bahkan kenyataan yang ada justru menampilkan lonjakan tindakan koruptif terutama di pemerintahan. 

Pejabat sekelas menteri, anggota legislatif, gubernur, bupati/wali kota bahkan kepala desa beserta perangkatnya tidak sedikit yang terjerat kasus korupsi. Kerugian negara tentu sangat banyak dan memperlambat kesejahteraan rakyat.

Dalam rangka menyongsong Hari Anti Korupsi Sedunia di awal Desember tahun ini, mungkin kita perlu memikirkan kembali upaya pemberantasan korupsi yang diawali dengan pencegahannya melalui cara yang lebih simultan. Pencegahan korupsi melalui pendidikan harus dilaksanakan secara lebih nyata seperti penguatan kurikulum. 

Pembelajaran anti korupsi melalui jalur pendidikan formal dilaksanakan secara berjenjang dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi dengan kurikulum dan materi yang jelas. Pendidikan anti korupsi tidak lagi hanya menjadi insersi yang mengajarkan nilai-nilai anti korupsi.

Materi anti korupsi dimasukkan ke dalam Kurikulum Merdeka dalam bentuk Capaian Pembelajaran (CP) yang diturunkan ke Tujuan Pembelajaran (TP) dan dijabarkan ke Alur Tujuan Pembelajaran (ATP) dengan indikator-indikatornya (IKTP). 

Kemudian dibuatkan modul ajar yang didukung oleh materi yang aktual dan faktual. Materi anti korupsi bisa dimasukkan ke dalam mata pelajaran Pendidikan agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan ilmu sosial lainnya serta diperkaya dengan pembelajaran deep learning dan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) di Kementerian Agama.

Materi yang diberikan harus mencakup kompetensi karakter, pengetahuan dan keterampilan.

Kompetensi karakter memuat nilai-nilai yang mendukung sikap anti korupsi seperti jujur, disiplin, integritas dan lain-lain. Kompetensi pengetahuan mencakup definisi korupsi, bentuk-bentuk korupsi, ancaman hukuman bagi koruptor, upaya pencegahan korupsi, pemberantasan korupsi dan lain-lain. 

Sementara kompetensi keterampilan berisi keterampilan mengidentifikasi perbuatan korupsi, membuat pengaduan tindakan korupsi, dan lain-lain. Dengan materi khusus pada mata pelajaran ini diharapkan peserta didik dapat memahami secara lebih jelas hal-hal yang berkaitan dengan korupsi. Begitu pula di perguruan tinggi, kurikulum antikorupsi dinyatakan dalam mata kuliah tertentu seperti etika profesi dan lain sebagainya.

Pada pendidikan non formal dan informal, KPK harus dapat memainkan peranan strategis dalam melakukan sosialisasi pendidikan anti korupsi secara komprehensif dengan kurikulum yang memadai dan sumber daya yang mumpuni.

Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan kerja sama antar lembaga negara, partai politik, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan dan organisasi profesi lainnya. Selama ini pendidikan antikorupsi belum menjadi objek sosialisasi KPK kepada partai politik dalam sistim pengkaderannya, pengusaha, organisasi kepemudaan, bisnis, LSM dan lain-lain.

Sejalan dengan pendidikan tersebut, penguatan ini harus didukung oleh regulasi atau hukum yang kuat. Undang-undang tentang perampasan aset koruptor, hukuman yang memberi efek jera, perlindungan saksi dan pemberlakuan hukum yang adil dan transparan harus diwujudkan. 

Di samping itu kesamaan persepsi aparat penegak hukum juga diperlukan agar penindakan sebagai aksi puncak pemberantasan korupsi dapat terlaksana sesuai harapan khalayak. Tanpa dukungan dari seluruh masyarakat dan pemerintah, pencegahan dan pemberantasan korupsi mustahil dilakukan.  (Isi Opini di Luar Tanggung jawab Redaksi enewsindo.co.id)

Tags : #Korupsi

Ikuti Kami :

Komentar