by

Advokat Sahlan Azwar Cs Lakukan Eksepsi, Nilai Dakwaan Jaksa Dewi Kusumawati Tidak Cermat

ENEWSINDO, Surabaya – Perkara yang jelas-jelas sarat dengan ranah perdata diangkat menjadi tindak pidana penipuan dan penggelapan oleh jaksa Dewi Kusumawati yang dituduhkan kepada terdakwa MSS (38) salah kaprah. Demikian disampaikan Sahlan Azwar SH,S.Pd kuasa hukum MSS usai menyampaikan keberatan kepada majelis hakim di persidangan di ruang Garuda 1 PN Surabaya Rabu sore (6/7/2022) kemarin kepada awak media.

Sahlan didampingi Ramot Batubara, SH di awal pembacaan eksepsinya mengungkapkan, bahwa antara saksi Dr.Irma Seliana dan MSS telah terjadi perjanjian jual beli tanah kavling seluas 90 meter persegi di wilayah Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo. Sehingga kedua pihak berhadapan dengan masalah keperdataan, bukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh jaksa Dewi Kusumawati SH (Kejari Tanjung Perak Surabaya).

Menurut advokat yang berkantor di Jl.Gayungsari Barat X/27 Surabaya itu, lokasi kejadian keperdataan tersebut berada di Sidoarjo yang seharusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Sidoarjo, “ maka Pengadilan Negeri (PN) Surabaya tidak berwenang memeriksa atau menyidangkan perkara yang kental dengan perdata tersebut” jelas Sahlan.

Ada 4 (empat) pandangan hukum yang mendasari pihaknya mengajukan eksepsi (keberatan) yakni perkara terdakwa termasuk perkara perdata, perkara tersebut termasuk Nebis In Idem, eksepsi kompetensi relatif pengadilan dan surat dakwaan yang tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap (obscuur libel).

“adapun faktanya bahwa perkara A quo bukanlah perkara tindak pidana melainkan murni perkara perdata dilihat dengan adanya transaksi jual beli tanah kavling antara Dr.Irma Seliana selaku pembeli dengan PT.Cahaya Mentari Pratama (CMP/Developer), maka apapun bentuk perselisihan dalam jual beli antara para pihak haruslah diselesaikan menurut hukum perdata” kata Sahlan.

Azwar menerangkan, dalam dakwaan ke satu dan kedua Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah menyatakan, Saksi dr.Irma Seliana telah melunasi pembayaran atas pembelian 1 (satu) unit tanah kavling seluas kurang lebih 90 meter persegi di Multazam Islamic Residence Blok G-24 di Ds.Kalanganyar Kec.Sedati Sidoarjo dan meminta developer untuk segera menyerahkan objek tanah tersebut, namun setelah ditelusuri oleh saksi obyek tersebut tidak ada/fiktif.

“Berdasarkan fakta-fakta, klien kami dalam hal ini beritikad baik dan benar, sudah menguruskan izin dan persyaratan yang ditetapkan pemerintah” jelasnya.

“Juga Jaksa menyatakan, saksi dr.Irma Seliana meminta uang sebesar Rp.123.000.000 yang sudah dibayarkan ke PT.CMP yang direkturnya terdakwa untuk dikembalikan” sambung Sahlan.

Sahlan Cs berpendapat, bahwa sebelumnya menjelaskan terlebih dahulu pada saat itu terdakwa pernah dilaporkan ke polisi dan ditetapkan sebagai tersangka yang menyebabkan perusahaan terdakwa mengalami kerugian sangat besar, sehingga berdampak semua customer mengajukan refund (pengembalian dana) termasuk juga saksi Irma Seliana dan sudah ada perjanjian refund.

“Perkara tersebut Nebis In Idem, dikarenakan terdakwa sebelumnya sudah pernah dilaporkan dan sudah dijatuhkan putusan pidana atas kasus yang sama tersebut, sebagaimana dianggap nebis in idem apabila terjadi pengulangan perkara dengan objek, subjek dan kronologi yang sama dan telah diputus serta mempunyai kekuatan hukum tetap” jelasnya.

Sahlan Menjelaskan dalam KUHPidana, setiap perkara pidana yang in idem hanya dapat disidangkan, diadili dan diputus satu kali saja atau perkara pidana yang sudah diputuskan oleh hakim tidak dapat diperkarakan atau disidangkan untuk yang kedua kalinya sesuai ketentuan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) KUHP.

“atas dasar dakwaan tersebut Pengadilan Negeri Surabaya tidak berwenang memeriksa dan mengadili dalam perkara pidana atau setidak-tidaknya terdakwa MSS lepas dari segala tuntutan hukum, karena perkara pidana diduga dilakukan terdakwa berada diluar wilayah kompetensi relatif Pengadilan Negeri Surabaya, sebab tempat kejadian perkara berlangsung di wilayah Sidoarjo, sehingga Pengadilan Negeri Sidoarjo yang berwenang mengadilinya” ujarnya.

Sahlan menilai, surat dakwaan JPU, bahwa dalam dakwaan kesatu dan kedua JPU telah menguraikan tempus delicti dengan menggunakan kalimat, pada 09 November 2015 atau setidak-tidaknya dalam suatu waktu lainnya dalam bulan November 2015 dan menguraikan locus delicti dengan kalimat, “setidak-tidaknya pada suatu tempat yang termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Surabaya” jelasnya.

Menurut Sahlan, penggunaan deskripsi tempus delicti dan locus yang alternatif seperti yang disusun JPU itu merupakan bentuk pengaburan yang menyesatkan. Selain itu, masih kata Sahlan bahwa fakta dalam dakwaan kesatu (tuduhan Pasal 378 KUHP) JPU tidak mampu menguraikan secara cermat dan jelas dakwaan yang diajukan kepada terdakwa terkait kronologis fakta kejadian yang dialami dan dilakukan oleh terdakwa termasuk didalamnya tempus dan locus delicti serta akibat yang ditimbulkan dari tindakan terdakwa tanpa menyebutkan modus operandinya.

“Sedangkan dakwaan kedua (tuduhan Pasal 372 KUHP) JPU tidak mampu membuktikan tindak pidana yang didugakan kepada terdakwa” ujarnya.

Berdasarkan uraian  tersebut, Sahlan berharap kepada majelis hakim memberikan keputusan antara lain menerima eksepsinya, menyatakan surat dakwaan JPU dengan nomor registrasi perkara : PDM-176/Tjg.Prk/6/2022 adalah batal demi hukum atau setidaknya tidak dapat diterima, menetapkan pemeriksaan perkara MSS tidak dapat dilanjutkan, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya, membebankan biaya kepada negara. (Akas)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *